Tuesday, January 26, 2016

Jalan Panjang Akber Bali

Cerita Akber Oleh Lugu Gumilar

2011 adalah tahun kedua saya tinggal di Bali. Setelah satu tahun menyesuaikan diri, akhirnya saya mulai berbaur dengan teman-teman dan komunitas di sini. Berbekal informasi dari Balebengong.net, portal jurnalisme warga paling keren di Bali, akhirnya saya bisa ikut kelas perdana Akber Bali. Sebelumnya saya sudah membaca tweet-tweet tentang Akademi Berbagi di Jakarta dari beberapa tokoh yang saya follow. Menarik, akhirnya di Bali ada juga kelas Akademi Berbagi.

Kelas perdana di Bulan Desember 2011, bertempat di Museum Sidik Jari. Flyer online atau e-flyer yang menarik perhatian menyebutkan guru atau pembicaranya adalah Fahd Djibran dengan tema Creative Wri’Think’: Fiksi Lintas Media. Saya tidak begitu mengenal guru maupun siapa di balik Akber Bali ini sebelumnya. Sampai akhirnya saya datang ke lokasi dan bertemu Mas Hendra, yang sebelumnya juga bertemu di acara penanaman pohon bersama komunitas lain. 

Setelah ngobrol sedikit, kelas pun dimulai. Kelasnya asik, dan ramai meski ini kelas perdana. Dan akhirnya saya tahu di balik Akber Bali ini ada 3 orang relawan, yaitu; Mas Hendra, Rizeki, dan Mas Adi sebagai kepala sekolah. Kelas kedua, saya tidak bisa datang karena ada pekerjaan. Barulah di kelas ketiga, sekitar bulan Februari 2012, saya hadir kembali sebagai peserta. Tema kelas itu adalah Brand Yourself, dengan Dewi Okinawa sebagai guru/pembicaranya. Seperti sebelumnya, kelasnya asik, bahkan tempatnya di taman belakang Art Veranda, sebuah tempat yang asik milik arsitek terkenal di Bali. Di kelas inilah akhirnya saya memberanikan diri untuk ikut bergabung bantu-bantu apa yang bisa dibantu di Akber Bali. 

“Saya bisanya nge-desain, Mas. Jadi kalau mungkin Mas Rizeki sedang berhalangan, mungkin saya bisa urun desain flyer.” Begitulah kalimat yang saya lontarkan ke Mas Hendra. Kelas selanjutnya, karena satu dan lain hal mendadak sekali. Tidak ada e-flyer, hanya info di twitter bahwa kelas keempat mengambil tema Desain Grafis dan Kelokalan Kita, diadakan di kantor BOC. Karena mendadak juga, saya hanya datang sebagai peserta. Barulah di kelas kelima saya didapuk untuk mendesain e-flyer dengan tema kelas Mencintai dengan Sadis, oleh Daniel Prasatyo.

Mas Adi dan Mas Hendra biasanya lebih dulu bertemu dengan calon relawan pengajar, baru setelahnya memberi info ke saya dan Rizeki via email untuk pengadaan kelas. Begitu juga di kelas kelima. Meski waktunya mendadak (lagi) dan tidak memungkinkan bikin e-flyer. Info kelas kami sebarkan ke teman-teman dekat dan via twitter maupun sms. Kelas bertema Improvisasi, Kreatifitas & Jatidiri Lewat Musik Jazz menggandeng komunitas Underground Jazz Movement tetap berlangsung seru. 

Kelas-kelas selanjutnya, saya kembali dapat amanah jadi tukang bikin e-flyer. Problema tentang sedikitnya peserta di kelas-kelas sebelumnya membuat teman-teman berinisiatif dengan mencetak flyer dan disebar ke beberapa kampus potensial di Denpasar. Review kelas juga biasanya Mas Hendra berinisiatif menuliskannya di blog-nya sendiri. Beberapa kali, kami juga sempat kesulitan mendapatkan guru dan jadwal yang tepat untuk mengadakan kelas. Ditambah kesibukan kami yang akhirnya membuat Akber Bali vakum sekitar 3 bulan. Mungkin semangat kami waktu itu sedikit kendor juga karena memikirkan bagaimana Akber Bali ini bisa menyatu, mendapat sedikit dukungan, atau paling tidak bisa bersama-sama memberi sumbangan solusi bagi teman-teman di Bali, terutama soal pendidikan. 

Sekitar bulan Januari, Mas Adi mengajak saya untuk ngobrol soal kelanjutan Akber Bali. Waktu itu dia bilang ada teman relawan dari Garut yang sekarang ada di Bali. Saya ajak dia untuk ketemu di Kopi Kultur yang waktu itu ada di Kerobokan. Kami sempat memberi info juga di twitter bahwa kita sedang kopdar dan ngobrol santai disana. Setelah saya, Mas Adi, dan Milli yang ternyata mantan kepala sekolah Akber Garut ngopi dan ngobrol singkat, ternyata ada beberapa follower yang merespon tweet kami. Fahri Bakhar dan beberapa teman akhirnya bergabung dan ngobrol semakin serius tentang mau dibawa kemana Akber Bali ini. Masukan dari Milli teman-teman inilah yang akhirnya membangunkan Akber Bali dari tidur panjangnya. Obrolan ini juga akhirnya “memaksa” Milli dan Fahri bergabung menjadi relawan Akber Bali. 

Kami sepakat, kali ini Akber Bali memulai lembaran barunya. Kami mulai berbenah dari hal-hal kecil soal absen peserta, aktif twitter, hingga review kelas di blog Akber Bali. Kali ini, siapapun relawan juga mempunyai tanggung jawab untuk mencari guru. Saya mendapat giliran pertama, dan menghubungi Jeff Kristianto atas rekomendasi teman untuk mengadakan kelas tentang Volunteerism. Rizeki kembali mendesain e-flyer, Fahri mendata peserta, Milli memegang admin twitter dan membuka kelas. Kelas di The Sanur Space kali itu cukup ramai. Bahkan teman-teman dari komunitas lain juga ikut datang. Zenith yang juga sempat ngobrol bareng di kesempatan kopdar sebelumnya datang bersama temannya di Pigmy Marmoset untuk “latihan” bermusik di taman seusai kelas. Seru. 

Kelas selanjutnya, Mas Adi yang sebelumnya memang sudah galau karena akan meninggalkan Bali, meletakkan tongkat estafet kepala sekolah ke Milli. Dan kelas terus berlanjut meski kami tidak muluk-muluk, minimal satu bulan sekali harus ada kelas. Aktif datang ke acara-acara komunitas lain di Bali, dan mengajak teman-teman dekat jika ada kelas. Mbak Ainun juga sempat berkunjung disaat sebagian besar peserta adalah teman-teman yang saya ajak, jadi ketika ditanya “Tahu Akber dari mana?” Mereka menjawab “Dari Lugu!” 

Milli akhirnya juga harus pergi di beberapa bulan masa jabatannya karena urusan pekerjaan. Sebelumnya sudah ada Danu, Raka, dan Candra yang bergabung jadi relawan Akberbali. Akhirnya, setelah dua kali kepala sekolah dijabat oleh perantau, kini Fahri Bakhar sebagai anak muda aktif yang terlahir di Bali melanjutkan perjuangan sebagai kepala sekolah. Fahri yang awalnya sempat malu-malu akhirnya mau juga duduk di kursi fantasi kepala sekolah.

 Dari Fahri dan teman-teman ini, saya mendapat banyak pelajaran berharga tentang semangat dan optimisme anak-anak muda. Aktif, cinta tanah air, dan berpikiran terbuka. Meski saya juga belum berusia 30 tahun dan masih tergolong muda, tapi mungkin selama ini hanya memikirkan pekerjaan (dulu) dan bertahan hidup sampai-sampai saya sedikit melewatkan euphoria yang jadi bahan bakar semangat seperti pemuda-pemudi Bali ini. 

Sekitar pertengahan tahun 2014 saya, Fahri, dan Andri berangkat mewakili Bali ke Salatiga menghadiri acara Local Leadership Day yang merupakan acara temu muka dan workshop Akademi Berbagi. Acara ini diadakan dua tahun sekali, sementara kesempatan yang lalu adalah kali kedua diadakan. Dulu, sepulangnya Mas Hendra dan Mas Adi dari Bogor untuk LLD pertama, saya mendapat cerita tentang keriaan, kekeluargaan, dan banyak manfaat. Kali ini saya bertiga juga merasakannya. Lebih dari 200 orang dari kota-kota di Indonesia berkumpul di satu tempat. Dari awal kedatangan sampai hari-hari selanjutnya pastinya padat dengan acara perkenalan dan materi workshop yang istimewa. 

Saya memang membawa sketchbook kemana-mana, tapi apa daya, kesempatan untuk menyendiri dan mengabadikan suasana di sana tidak mungkin saya dapatkan. Jeda waktu coffee break atau makan lebih baik saya sempatkan mendengar cerita dari teman-teman baru. Seperti cerita Rossy saat backpacking dengan biaya minim, cerita Daniel sampai bisa berhenti merokok, dan cerita-cerita lain yang seru. Meski begitu, bukan berarti saya tidak berkarya. Dalam salah satu workshop di hari ke-dua, saya sempat membuat 'Dream Board' sederhana diatas kertas A3. 

Menjelang sore, panitia sempat mengumumkan akan ada 'Mysterious Gift' semacam tukar kado yang dijalankan secara acak dengan mengambil nama 'korban' yang akan disembelih. Eh, bukan, dikasi kado. Sebelum mengambil gulungan kertas berisi nama, saya sempat terpikir antara akan memberi sketchbook yang sudah penuh dengan gambar selama setahun, atau membuatkan gambar baru untuk nama yang muncul di gulungan kertas yang saya ambil. Sketchbook yang sudah penuh tadi ada beberapa yang belum saya backup/dokumentasikan. Jadi, saya terpikir untuk membuatkan gambar baru. Masalahnya, jika nama yang muncul nanti adalah nama yang belum pernah saya kenal, bagaimana harus sembunyi-sembunyi membuat karikatur wajahnya? :D 

Giliran ambil undian tiba. Teman-teman yang telah duluan ambil sibuk menyembunyikan ekspresi wajahnya. Ketika saya buka, kertas gulungan tersebut tidak ada nama! Hanya ada tulisan Dokumentasi I. Pergilah saya bertanya ke Mbak Dita, siapa sosok misterius dibalik tulisan itu. Ternyata yang dimaksud adalah Bang Roni. Untungnya Bang Roni sudah familiar karena sering mondar-mandir bawa kamera. Berarti PR selanjutnya adalah menggambar tanpa diketahui teman yang lain.

Hari sudah mulai petang, kambing dan sapi masuk ke kandang. Kami kembali berkumpul di ruang makan untuk menyantap hidangan. Setelahnya saat mengobrol di pelataran, beberapa teman sempat mendapat teguran, karena ramai membahas koneksi Wi-Fi dengan nama yang tidak pantas dituliskan. Kabarnya kayu api unggun sudah siap dibakar, dan kami semua turun ke lapangan. Beberapa duduk berkumpul demi mendapat kehangatan. Padahal, api bisa lebih menghangatkan daripada badan.

Mbak Ainun yang terlihat lelah maju ke depan sambil mengajak kami untuk sedikit rileks setelah berpikir seharian. Miko pun sempat menghibur dengan cerita dan tingkah lakunya. Dilanjutkan dengan acara menghaturkan 'Mysterious Gift' yang lebih lama dari jalannya api membakar kayu, serta hiburan lain berupa musik akustik dari tim yang tidak kenal lelah, malam itu jadi malam minggu istimewa, meskipun kabarnya banyak wanita disana sudah ada yang punya. Selesai api unggun, beberapa rekan memilih melanjutkan ngobrol karena besok sudah harus berpisah. Setelah menyampaikan amanah 'Mysterious Gift' ke Bang Roni, saya sempat keracunan udara segar dan mengemis amunisi ke Mbak Neny. Setelahnya, meski tidak terbiasa tidur di kasur empuk, saya memaksa memejamkan mata agar esoknya masih bisa tertawa. 

Pagi terakhir di Salatiga, sesi diskusi dengan Roby Muhamad menutup acara LLD. Sesi foto-foto makin tidak terkontrol hari itu. Namun, energi positif yang dikumpulkan semenjak hari pertama di Salatiga sangat terasa. Orang-orang baik yang berkumpul di sana pasti berbahagia. Kepulangan ke kota masing-masing akan membawa cerita. Berbagi energi positif dan cerita-cerita ke kota asal masing-masing. Bergerak bersama untuk kemajuan Indonesia. 

Berbekal semangat itu, kami di Bali memulai kembali kelas di bulan-bulan selanjutnya. Yang sebelumnya sebulan sekali, sedikit demi sedikit kita tingkatkan. Materi dan guru lebih beragam dan diharapkan mampu memberi solusi bagi teman-teman disini. Tempat pun tidak hanya melulu di Kota Denpasar, tapi kota-kota lain yang memang kami rasakan mampu diwujudkan. Dan sebenarnya ini bukan cerita akhir perjalanan. Ini awal. Dan jalan Akber Bali masih panjang, tidak pernah ada pilihan untuk berhenti. Karena berhenti berarti mati.