Cerita Akber Oleh Lugu Gumilar
2011 adalah tahun kedua saya tinggal di Bali. Setelah satu tahun menyesuaikan diri,
akhirnya saya mulai berbaur dengan teman-teman dan komunitas di sini. Berbekal
informasi dari Balebengong.net, portal jurnalisme warga paling keren di Bali, akhirnya
saya bisa ikut kelas perdana Akber Bali. Sebelumnya saya sudah membaca
tweet-tweet tentang Akademi Berbagi di Jakarta dari beberapa tokoh yang saya
follow. Menarik, akhirnya di Bali ada juga kelas Akademi Berbagi.
Kelas perdana di Bulan Desember 2011, bertempat di Museum Sidik Jari. Flyer online
atau e-flyer yang menarik perhatian menyebutkan guru atau pembicaranya adalah
Fahd Djibran dengan tema Creative Wri’Think’: Fiksi Lintas Media. Saya tidak begitu
mengenal guru maupun siapa di balik Akber Bali ini sebelumnya. Sampai akhirnya
saya datang ke lokasi dan bertemu Mas Hendra, yang sebelumnya juga bertemu di
acara penanaman pohon bersama komunitas lain.
Setelah ngobrol sedikit, kelas pun dimulai. Kelasnya asik, dan ramai meski ini kelas
perdana. Dan akhirnya saya tahu di balik Akber Bali ini ada 3 orang relawan, yaitu;
Mas Hendra, Rizeki, dan Mas Adi sebagai kepala sekolah. Kelas kedua, saya tidak bisa
datang karena ada pekerjaan. Barulah di kelas ketiga, sekitar bulan Februari 2012,
saya hadir kembali sebagai peserta. Tema kelas itu adalah Brand Yourself, dengan
Dewi Okinawa sebagai guru/pembicaranya. Seperti sebelumnya, kelasnya asik,
bahkan tempatnya di taman belakang Art Veranda, sebuah tempat yang asik milik
arsitek terkenal di Bali. Di kelas inilah akhirnya saya memberanikan diri untuk ikut
bergabung bantu-bantu apa yang bisa dibantu di Akber Bali.
“Saya bisanya nge-desain, Mas. Jadi kalau mungkin Mas Rizeki sedang berhalangan,
mungkin saya bisa urun desain flyer.” Begitulah kalimat yang saya lontarkan ke Mas
Hendra. Kelas selanjutnya, karena satu dan lain hal mendadak sekali. Tidak ada
e-flyer, hanya info di twitter bahwa kelas keempat mengambil tema Desain Grafis dan
Kelokalan Kita, diadakan di kantor BOC. Karena mendadak juga, saya hanya datang
sebagai peserta. Barulah di kelas kelima saya didapuk untuk mendesain e-flyer
dengan tema kelas Mencintai dengan Sadis, oleh Daniel Prasatyo.
Mas Adi dan Mas Hendra biasanya lebih dulu bertemu dengan calon relawan pengajar,
baru setelahnya memberi info ke saya dan Rizeki via email untuk pengadaan kelas.
Begitu juga di kelas kelima. Meski waktunya mendadak (lagi) dan tidak
memungkinkan bikin e-flyer. Info kelas kami sebarkan ke teman-teman dekat dan via
twitter maupun sms. Kelas bertema Improvisasi, Kreatifitas & Jatidiri Lewat Musik Jazz
menggandeng komunitas Underground Jazz Movement tetap berlangsung seru.
Kelas-kelas selanjutnya, saya kembali dapat amanah jadi tukang bikin e-flyer.
Problema tentang sedikitnya peserta di kelas-kelas sebelumnya membuat
teman-teman berinisiatif dengan mencetak flyer dan disebar ke beberapa kampus
potensial di Denpasar. Review kelas juga biasanya Mas Hendra berinisiatif
menuliskannya di blog-nya sendiri. Beberapa kali, kami juga sempat kesulitan
mendapatkan guru dan jadwal yang tepat untuk mengadakan kelas. Ditambah
kesibukan kami yang akhirnya membuat Akber Bali vakum sekitar 3 bulan. Mungkin
semangat kami waktu itu sedikit kendor juga karena memikirkan bagaimana Akber
Bali ini bisa menyatu, mendapat sedikit dukungan, atau paling tidak bisa
bersama-sama memberi sumbangan solusi bagi teman-teman di Bali, terutama soal
pendidikan.
Sekitar bulan Januari, Mas Adi mengajak saya untuk ngobrol soal kelanjutan Akber
Bali. Waktu itu dia bilang ada teman relawan dari Garut yang sekarang ada di Bali.
Saya ajak dia untuk ketemu di Kopi Kultur yang waktu itu ada di Kerobokan. Kami
sempat memberi info juga di twitter bahwa kita sedang kopdar dan ngobrol santai
disana. Setelah saya, Mas Adi, dan Milli yang ternyata mantan kepala sekolah Akber
Garut ngopi dan ngobrol singkat, ternyata ada beberapa follower yang merespon
tweet kami. Fahri Bakhar dan beberapa teman akhirnya bergabung dan ngobrol
semakin serius tentang mau dibawa kemana Akber Bali ini. Masukan dari Milli
teman-teman inilah yang akhirnya membangunkan Akber Bali dari tidur panjangnya.
Obrolan ini juga akhirnya “memaksa” Milli dan Fahri bergabung menjadi relawan
Akber Bali.
Kami sepakat, kali ini Akber Bali memulai lembaran barunya. Kami mulai berbenah
dari hal-hal kecil soal absen peserta, aktif twitter, hingga review kelas di blog Akber
Bali. Kali ini, siapapun relawan juga mempunyai tanggung jawab untuk mencari guru.
Saya mendapat giliran pertama, dan menghubungi Jeff Kristianto atas rekomendasi
teman untuk mengadakan kelas tentang Volunteerism. Rizeki kembali mendesain
e-flyer, Fahri mendata peserta, Milli memegang admin twitter dan membuka kelas.
Kelas di The Sanur Space kali itu cukup ramai. Bahkan teman-teman dari komunitas
lain juga ikut datang. Zenith yang juga sempat ngobrol bareng di kesempatan kopdar
sebelumnya datang bersama temannya di Pigmy Marmoset untuk “latihan” bermusik
di taman seusai kelas. Seru.
Kelas selanjutnya, Mas Adi yang sebelumnya memang sudah galau karena akan
meninggalkan Bali, meletakkan tongkat estafet kepala sekolah ke Milli. Dan kelas
terus berlanjut meski kami tidak muluk-muluk, minimal satu bulan sekali harus ada
kelas. Aktif datang ke acara-acara komunitas lain di Bali, dan mengajak teman-teman
dekat jika ada kelas. Mbak Ainun juga sempat berkunjung disaat sebagian besar
peserta adalah teman-teman yang saya ajak, jadi ketika ditanya “Tahu Akber dari
mana?” Mereka menjawab “Dari Lugu!”
Milli akhirnya juga harus pergi di beberapa bulan masa jabatannya karena urusan
pekerjaan. Sebelumnya sudah ada Danu, Raka, dan Candra yang bergabung jadi
relawan Akberbali. Akhirnya, setelah dua kali kepala sekolah dijabat oleh perantau,
kini Fahri Bakhar sebagai anak muda aktif yang terlahir di Bali melanjutkan
perjuangan sebagai kepala sekolah. Fahri yang awalnya sempat malu-malu akhirnya
mau juga duduk di kursi fantasi kepala sekolah.
Dari Fahri dan teman-teman ini, saya mendapat banyak pelajaran berharga tentang
semangat dan optimisme anak-anak muda. Aktif, cinta tanah air, dan berpikiran
terbuka. Meski saya juga belum berusia 30 tahun dan masih tergolong muda,
tapi mungkin selama ini hanya memikirkan pekerjaan (dulu) dan bertahan
hidup sampai-sampai saya sedikit melewatkan euphoria yang jadi bahan bakar
semangat seperti pemuda-pemudi Bali ini.
Sekitar pertengahan tahun 2014 saya, Fahri, dan Andri berangkat mewakili Bali ke
Salatiga menghadiri acara Local Leadership Day yang merupakan acara temu muka
dan workshop Akademi Berbagi. Acara ini diadakan dua tahun sekali, sementara
kesempatan yang lalu adalah kali kedua diadakan. Dulu, sepulangnya Mas Hendra dan
Mas Adi dari Bogor untuk LLD pertama, saya mendapat cerita tentang keriaan,
kekeluargaan, dan banyak manfaat. Kali ini saya bertiga juga merasakannya. Lebih
dari 200 orang dari kota-kota di Indonesia berkumpul di satu tempat. Dari awal
kedatangan sampai hari-hari selanjutnya pastinya padat dengan acara perkenalan dan
materi workshop yang istimewa.
Saya memang membawa sketchbook kemana-mana, tapi apa daya, kesempatan
untuk menyendiri dan mengabadikan suasana di sana tidak mungkin saya dapatkan.
Jeda waktu coffee break atau makan lebih baik saya sempatkan mendengar cerita dari
teman-teman baru. Seperti cerita Rossy saat backpacking dengan biaya minim, cerita
Daniel sampai bisa berhenti merokok, dan cerita-cerita lain yang seru. Meski begitu,
bukan berarti saya tidak berkarya. Dalam salah satu workshop di hari ke-dua, saya
sempat membuat 'Dream Board' sederhana diatas kertas A3.
Menjelang sore, panitia sempat mengumumkan akan ada 'Mysterious Gift' semacam
tukar kado yang dijalankan secara acak dengan mengambil nama 'korban' yang akan
disembelih. Eh, bukan, dikasi kado. Sebelum mengambil gulungan kertas berisi nama,
saya sempat terpikir antara akan memberi sketchbook yang sudah penuh dengan
gambar selama setahun, atau membuatkan gambar baru untuk nama yang muncul di
gulungan kertas yang saya ambil. Sketchbook yang sudah penuh tadi ada beberapa
yang belum saya backup/dokumentasikan. Jadi, saya terpikir untuk membuatkan
gambar baru. Masalahnya, jika nama yang muncul nanti adalah nama yang belum
pernah saya kenal, bagaimana harus sembunyi-sembunyi membuat karikatur
wajahnya? :D
Giliran ambil undian tiba. Teman-teman yang telah duluan ambil sibuk
menyembunyikan ekspresi wajahnya. Ketika saya buka, kertas gulungan tersebut
tidak ada nama! Hanya ada tulisan Dokumentasi I. Pergilah saya bertanya ke Mbak
Dita, siapa sosok misterius dibalik tulisan itu. Ternyata yang dimaksud adalah Bang
Roni. Untungnya Bang Roni sudah familiar karena sering mondar-mandir bawa
kamera. Berarti PR selanjutnya adalah menggambar tanpa diketahui teman yang lain.
Hari sudah mulai petang, kambing dan sapi masuk ke kandang. Kami kembali
berkumpul di ruang makan untuk menyantap hidangan. Setelahnya saat mengobrol di
pelataran, beberapa teman sempat mendapat teguran, karena ramai membahas
koneksi Wi-Fi dengan nama yang tidak pantas dituliskan. Kabarnya kayu api unggun
sudah siap dibakar, dan kami semua turun ke lapangan. Beberapa duduk berkumpul
demi mendapat kehangatan. Padahal, api bisa lebih menghangatkan daripada badan.
Mbak Ainun yang terlihat lelah maju ke depan sambil mengajak kami untuk sedikit
rileks setelah berpikir seharian. Miko pun sempat menghibur dengan cerita dan
tingkah lakunya. Dilanjutkan dengan acara menghaturkan 'Mysterious Gift' yang lebih
lama dari jalannya api membakar kayu, serta hiburan lain berupa musik akustik dari
tim yang tidak kenal lelah, malam itu jadi malam minggu istimewa, meskipun
kabarnya banyak wanita disana sudah ada yang punya. Selesai api unggun, beberapa
rekan memilih melanjutkan ngobrol karena besok sudah harus berpisah. Setelah
menyampaikan amanah 'Mysterious Gift' ke Bang Roni, saya sempat keracunan udara
segar dan mengemis amunisi ke Mbak Neny. Setelahnya, meski tidak terbiasa tidur di
kasur empuk, saya memaksa memejamkan mata agar esoknya masih bisa tertawa.
Pagi terakhir di Salatiga, sesi diskusi dengan Roby Muhamad menutup acara LLD. Sesi
foto-foto makin tidak terkontrol hari itu. Namun, energi positif yang dikumpulkan
semenjak hari pertama di Salatiga sangat terasa. Orang-orang baik yang berkumpul
di sana pasti berbahagia. Kepulangan ke kota masing-masing akan membawa cerita.
Berbagi energi positif dan cerita-cerita ke kota asal masing-masing. Bergerak bersama
untuk kemajuan Indonesia.
Berbekal semangat itu, kami di Bali memulai kembali kelas di bulan-bulan
selanjutnya. Yang sebelumnya sebulan sekali, sedikit demi sedikit kita
tingkatkan. Materi dan guru lebih beragam dan diharapkan mampu memberi
solusi bagi teman-teman disini. Tempat pun tidak hanya melulu di Kota
Denpasar, tapi kota-kota lain yang memang kami rasakan mampu diwujudkan.
Dan sebenarnya ini bukan cerita akhir perjalanan. Ini awal. Dan jalan Akber
Bali masih panjang, tidak pernah ada pilihan untuk berhenti. Karena berhenti
berarti mati.